Penulis, Prof. Dr. Koh Young Hun
Terkinni.id – Lima puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan tenaga manusianya begitu kaya dan sebagainya. Lima puluh tahun sudah lewat. Selama ini saya menekuni bidang Studi Indonesia, menyelesaikan program S1, magister, dan doktor, kemudian mengabdi sebagai tanaga pengajar selama tiga puluh tahun. Tahun lalu saya pensiun dan kini saya mengabdi sebagai profesor emeritus. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama. Tidak dapat dinafikkan bahwa lima puluh tahun ini lumayan lama untuk memajukan bangsa dan negara. Saya tidak mau menceritakan lagi dalam ruang kelas saya bahwa Indonesia masih berpotensi tinggi, melainkan saya ingin mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia sudah menjadi negara maju.
Menurut data statistik, saat ini ekonomi Korea (PDB) termasuk 10 terbesar dunia, volume perdagangan termasuk 7 terbesar dunia, kekuatan militer Korea (Global Firepower Index) menempati peringkat kelima di dunia, anggaran pertahanan termasuk 11 terbesar dunia,ekspor industri pertahanan termasuk 8 terbesar dunia,PDB per kapita Korea adalah USD 36.000, dan peringkat PDB per kapita nominal Korea di antara negara-negara dengan populasi lebih dari 50 juta jiwa berada di posisi ke-6 dunia (AS-Jerman-Inggris-Prancis-Italia-Korsel-Jepang). Berdasarkan indikator tersebut, Korea Selatan dinilai telah cukup lumayan berkembang dari kehancuran setelah Perang Korea. Republik Korea pada akhir tahun lalu mengalami kekacauan akibat deklarasi darurat militer yang tidak masuk akal oleh mantan presiden. Namun, berkat upaya rakyat dan sikap pasif tentara dalam melaksanakan perintah, darurat militer tersebut dapat digagalkan. Mantan presiden itu kemudian dimakzulkan, dan presiden baru terpilih yang kini tengah mengepakkan sayap untuk lompatan yang lebih baik.
Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Dalam teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J. Rosen dalam bukunya The Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawanya karena Salah Dewek.
Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang bahwa kemiskinan dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara dunia ketiga) disebabkan oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi nagara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Namun dalam hal ini saya beranggapan bahwa teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam, paling tidak paham ini mengajak kita untuk tidak bermawas diri. Pepatah Melayunya, “karena awak tak bisa menari lantai pula yang disalahkan.”
Sekarang ini, menurut saya segalanya sudah terbuka dengan seluas-luasnya, sepertinya Tuhan telah memberi kita kesempatan untuk mengubah nasib dengan secepat-cepatnya dan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan untuk mengubah nasib, untuk meraih kemajuan, untuk mengejar ketertinggalan, baik secara pribadi maupun kelompok bangsa, mau tidak mau kita harus melawan dan mengalahkan kemalasan; mau tidak mau kita harus banyak belajar. Belajar mengenali, selanjutnya meniru hal-hal yang baik yang dimiliki orang lain dalam menata hidup dan kehidupannya. Belajar mengenali, kemudian membuang sifat-sifat buruk yang ada dalam diri kita yang selama ini menjadi batu penghalang dalam mencapai kemajuan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, barangkali ada manfaatnya bila sekilas diperkenalkan etos kerja bangsa Korea, yakni jiwa khas bangsa Korea dalam bekerja.


