Di kepulauan Nusantara, berbagai mitos tercipta sebagai cara manusia menjelaskan asal-usul kehidupan. Dari sekian banyak kisah kosmogoni itu, mitos Hainuwele dari Pulau Seram—yang sering disebut sebagai “Mutiara Melanesia”—menempati posisi istimewa dalam studi antropologi dunia. Kisah ini bukan sekadar dongeng lisan; ia menjadi salah satu pilar teoretis dalam memahami dari mana sumber pangan manusia berasal, khususnya dalam perdebatan besar mengenai apakah bahan makanan kita dibawa dari luar atau justru muncul dari tanah kita sendiri.
Dalam antropologi Eropa, selama berabad-abad berkembang sebuah kerangka berpikir yang dapat disebut sebagai tipe Prometeus: bahwa sumber pangan datang “dari luar”. Seperti kisah Prometeus yang mencuri api dari langit, ada pula mitos-mitos mengenai tokoh yang pergi jauh ke alam lain, menyembunyikan benih di bagian tubuhnya, lalu kembali ke dunia manusia untuk memulai pertanian. Model ini menekankan eksogenitas—bahwa kehidupan berkembang karena sesuatu dibawa masuk.

Namun Hainuwele justru menawarkan narasi yang berbeda. Dalam kisah masyarakat Wemale di Seram, Hainuwele adalah gadis ajaib yang tubuhnya mampu “menghasilkan” benda-benda berharga. Ketika ia dibunuh oleh para pemuda yang iri dan takut akan kesaktiannya, tubuhnya dicincang dan dikuburkan. Dari tanah tempat ia dimakamkan, tumbuhlah berbagai tumbuhan umbi-umbian, yang kemudian menjadi dasar kehidupan masyarakat setempat. Inilah model yang berlawanan dengan tipe Prometeus—bahwa pangan lahir dari tubuh bumi sendiri, dari wilayah tempat manusia berpijak, bukan dari dunia asing. Kisah ini dikenal dalam antropologi sebagai model endogen mengenai asal-usul pangan, dan karenanya menjadi “sumbu teori” penting dalam kajian mitologi pertanian dunia.
Saya sendiri memiliki pengalaman personal yang memperkaya pemahaman saya tentang kisah ini. Pada 2017, saya sempat menjadi felo di Prodi Asia Tenggara Universitas Frankfurt dan tidak lupa mengunjungi Frobenius-Institut yang ada di universitas tersebut, sebuah lembaga penelitian budaya tertua di Jerman yang terkenal dengan tradisi etnologi wilayah. Di sana tersimpan catatan luar biasa: dua peneliti Frobenius-Institut, yaitu Prof. Adolf Ellegard Jensen dan Prof. Hermann Niggemeyer, pada awal abad ke-20 tinggal hampir satu tahun di Pulau Seram. Pada waktu itu aspek keselamatan dan infrastruktur komunikasi bahkan belum dapat dijamin. Dengan ketekunan ilmuwan lapangan, mereka berhasil mencatat, menyalin, dan mengarsipkan mitos Hainuwele yang kita kenal sekarang. Karya itu, yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, menjadi fondasi ratusan penelitian lanjutan di Eropa dan Asia.

Melihat kerja keras para sarjana itu, saya kembali disadarkan betapa mahal dan pentingnya penelitian lapangan lintas-wilayah. Tidak ada pengetahuan yang hadir begitu saja; ia muncul dari keberanian untuk menyeberangi batas, dari kemauan untuk mendengar kisah masyarakat lain dengan hormat dan ketelitian ilmiah. Karena itu, penelitian mengenai wilayah luar negeri bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan. Dunia akademik akan mandek bila hanya memandang dirinya sendiri. Indonesia yang begitu kaya dengan cerita, adat, bahasa, dan kosmologi membutuhkan para peneliti dari luar untuk menafsirkannya secara segar; sebaliknya, Korea juga memberikan ruang luas bagi ilmuwan Indonesia untuk memahami Korea melalui kacamata baru.
Pada akhirnya, hubungan Korea–Indonesia tidak akan benar-benar dalam tanpa penelitian yang saling memperkaya. Kerja sama akademik, baik dalam antropologi, sejarah, seni, maupun kajian bahasa, merupakan jembatan yang memperkuat pemahaman kedua bangsa. Mitos Hainuwele—yang lahir di tanah Seram lalu dikodifikasikan di Frankfurt dan kini diteliti kembali di Seoul—adalah contoh betapa pengetahuan bergerak lintas benua dan melahirkan dialog baru.
Kisah itu mengingatkan kita bahwa pengetahuan tidak tumbuh dari ruang hampa, sebagaimana umbi-umbian tidak tumbuh tanpa tanah tempat Hainuwele beristirahat. Pengetahuan berkembang di pertemuan berbagai budaya, seperti perjumpaan panjang antara Korea dan Indonesia. Karena itu, memperkuat riset lintas-wilayah adalah tugas bersama kita—agar dunia antarbangsa terus bertumbuh, dan agar cerita-cerita tua seperti Hainuwele tetap hidup sebagai sumber ilham bagi perjalanan ilmiah kita.
Koh Young Hun
Profesor Emeritus Hankuk University of Foreign Studies, Seoul
Direktur The Korea-Indonesia Center


