terkinni.id – Kunjungan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung ke Jepang pada peringatan Hari Pembebasan memicu sorotan publik, terutama terkait pesan yang akan ia sampaikan soal hubungan Seoul–Tokyo dan dinamika antar-Korea.

Hari Pembebasan tahun ini memiliki bobot diplomatik dan keamanan besar, bertepatan dengan rangkaian agenda penting: KTT Korea–Jepang diikuti KTT Korea Selatan–AS. Kantor Kepresidenan menyebut, Presiden Lee tengah mematangkan pidato ucapan selamat yang akan disampaikan pada upacara nasional di pagi hari, serta pidato ucapan terima kasih pada acara malam.
Tradisi pidato presiden di Hari Pembebasan selalu menjadi perhatian dalam dan luar negeri, karena biasanya memuat pandangan strategis soal hubungan bilateral dan antar-Korea. Tahun ini, minat publik makin tinggi karena momen peringatan terjadi tepat sebelum pertemuan puncak dua negara.
Diperkirakan, Lee akan menawarkan pendekatan “dua jalur” — mendorong kerja sama ekonomi dan keamanan dengan Jepang, sambil menangani isu sejarah secara prinsipil. Usai KTT Korea–Jepang, ia dijadwalkan bertemu Presiden AS, yang diperkirakan akan memperkuat koordinasi trilateral Seoul–Washington–Tokyo.
Isu Korea Utara juga diprediksi menjadi bagian utama pesan Lee. Pemerintah AS diyakini mendukung upaya mengubah ketegangan menjadi dialog. Lee sempat menyinggung pencopotan pengeras suara di perbatasan dalam rapat kabinet 12 Agustus, berharap langkah timbal balik ini membuka jalur komunikasi. Namun, respons dari Pyongyang terbilang keras — Kim Yo-jong, Wakil Direktur Partai Buruh Korea, menegaskan pihaknya tak berniat mencabut pengeras suara, menunjukkan sikap tegas yang berpotensi memengaruhi nada pidato Lee.
Meski begitu, juru bicara kepresidenan Kang Yoo-jung menegaskan bahwa prinsip dasar dialog tetap sama. Ia mengutip pernyataan Lee: “Bahkan perdamaian yang mahal lebih baik daripada perang atau ketegangan”, menekankan perlunya langkah bertahap memulihkan kepercayaan antar-Korea.

Upacara nasional tahun ini juga dianggap sebagai “awal resmi” pemerintahan Lee Jae-myung. Setelah Komite Perencanaan Urusan Negara menyelesaikan rencana lima tahun dan mengumumkan kandidat menteri baru, Lee siap menyampaikan visi pemerintahan berbasis kedaulatan rakyat, pertumbuhan ekonomi yang seimbang, dan inovasi struktural.
Namun, dinamika politik domestik turut membayangi. Kontroversi pengampunan mantan pemimpin Partai Demokrat Cho Kuk memicu protes oposisi dan perpecahan opini publik. Sejumlah tokoh oposisi, termasuk mantan Presiden Lee Myung-bak, Park Geun-hye, Wali Kota Seoul Oh Se-hoon, hingga Partai Kekuatan Rakyat, memilih absen dari perayaan — sebagian karena alasan kesehatan, sebagian sebagai bentuk protes.
Oposisi juga menuduh pemerintahan Lee kurang bertekad mempersatukan bangsa, terutama setelah penggerebekan jaksa penuntut khusus di markas partai mereka. Kondisi ini membuat pesan persatuan yang ingin dibawa Lee berpotensi menghadapi tantangan penerimaan publik.
Meski demikian, Kang menegaskan, perayaan ini adalah momen rakyat merayakan lahirnya pemerintahan kedaulatan rakyat setelah melewati darurat militer dan perang saudara. Ia menyebut partisipasi publik adalah inti makna Hari Pembebasan.